Selasa, 17 Januari 2012

Tugas Tulisan IBD 2

Tugas Tulisan
 Rindu
Di antara bintang bintang yang sedang mengedipkan matanya…
Aku duduk terdiam termenung…
Sejenak pikiranku terlintas olehmu…
Merindukan semua tentangmu…
Dan bayang wajahmu memulai seakan bernari di pikiranku…
Yang buatku semakin menyiksa hati…
Yang buatku semakin teringat saat saat indah bersamamu dulu…
Yang buatku sakit karna kerinduan yang mendalam…
Kini kau yang ku nanti…
Mengapa tak kunjung datang…
Untuk obati luka yang mendalam….
Untuk obati goresan luka di hatiku karenamu…
Walau sesaat dan hanya sementara bayang senyumanmu telah mampu obati selaput kerinduanku…
Kini hanya waktu yang tau…
Kapan kita di pertemukan dalam ruang rindu…
Kini semua hanya tuha yang menentukan…

Puisi ini bersumber dari : http://www.gudangpuisi.com/2011/09/di-antara-bintang-bintang-yang-sedang-mengedipkan-matanya%e2%80%a6-aku-duduk-terdiam-termenung%e2%80%a6-sejenak-pikiranku-terlintas-olehmu%e2%80%a6-merindukan-semua-tentangmu%e2%80%a6-dan-bayang-waja.html#ixzz1cShaSfkp
Blogger yang beretika selalu menampilkan sumbernya.

Seni lain yang berhubbungan dengan cinta kasih

Seni Islam selalu berbicara mengenai hubungan yang kuat antara estetika dan spiritualitas. Para perupanya menciptakan komposisi titik, garis, warna, dan tekstur sekaligus melakukan praktik rohani dalam bentuk apapun. Tak salah bila kompleksitas Islam sebagai suatu kepercayaan di satu sisi, sekaligus sebagai sistem sosial yang memiliki haluan tertentu telah memastikan bahwa di setiap tempat dimana Islam berpijak, di sana Islam telah mengilhami keberagaman ekspresi seni yang mengagumkan. Jawa--secara khusus di antaranya Yogyakarta-adalah satu entitas penting dalam pembahasan seni dan religi Islam di dunia.

Kyai Haji Muhammad Fuad Riyadi atau Kyai Fuad adalah eksisten dari entitas tersebut. Ia dengan sengaja membuka tirai nuraninya untuk melakukan rekam estetik selama 3 tahun terakhir. Hasilnya adalah buah karya seni lukis yang tak sekadar berfungsi untuk mengindera yang kasat mata, namun juga meraba ruang senyap alam pikiran yang telah mengalami pergulatan spiritual. Nyata sekali bahwa keberadaan rekam jejak tersebut bukan semata-mata untuk menjalani ritual kreatif lahiriah, akan tetapi juga mewadahi khasanah amaliahnya sebagai manusia ciptaan Allah. Rekam jejak yang tertera dalam kanvas-kanvasnya sering dianggap oleh sebagian apresian sebagai “Surat Cinta”, “Teks untuk Kekasih”. Bagi saya, yang lebih mendasar adalah lukisan-lukisannya ibarat suguhan rasa syukur kepada dan perasaan intimnya dengan Allah serta Rasulullah.
Dalam perbincangan santai ia mengaku bahwa melukis bukan saja perkara melakukan tindak kreatif pada sebidang kanvas atau menjual karya untuk kepentingan berbagai hal, namun lebih dari sekadar itu. Melukis adalah bagian dalam syiar Islam yang diembannya. Melukis adalah media silahturahmi sesama manusia. Dengan melukis ia merasa dekat dengan satu masyarakat tertentu untuk mendapatkan teman sebanyak mungkin. Dengan melukis ia merasa mengenal pribadi-pribadi maupun pengalaman-pengalaman yang baru dan berbeda dari sebelumnya.
Pengalaman spiritual, asketisme, dan hubungan antara sesama yang dikembangkan sebagai perasaan cinta kasih sampai saat ini menjadi dasar pijak pergulatannya dalam lukisan. Tema-tema yang dikerjakan bersumber dari pemikiran bahwa setiap diri manusia berhak untuk menjadi insan yang dekat dengan Sang Pencipta, yakni Allah SWT. Tak salah bila yang secara lahiriah mewujud di dalam lukisan-lukisannya adalah pergumulan noktah, serumpun garis, ciprat dan lelehan air, dan berkas-berkas warna yang dibuat secara sengaja atau yang alamiah.
Dalam perspetif seni rupa, lukisan-lukisan semacam ini sering disebut sebagai seni lukis non-representasional.
Istilah ini berasal dari kata “representasional” dengan kata dasar present artinya “hadir, nyata, ada” yang bermula dari kata dalam bahasa Latin “repraesentatio(n-)” atau “repraesentare” yang berarti “bring before, exhibit”. Dalam arti yang umum representation atau representasi merupakan deskripsi atau potret seseorang atau sesuatu yang biasanya dibuat atau terlihat secara natural. Sedang menurut Raymond Williams, Keywords, A Vocabulary of Culture and Society, istilah ini merupakan tipikal yang sering digunakan dalam mendeskripsikan beberapa karakter dan situasi. Sejak abad ke-19 istilah “representasional” telah dipakai untuk mengidentifikasi elemen seni beraliran Realisme dan Naturalisme. Kemudian banyak diartikan the visual embodiment of something, dengan kata lain secara khusus ia haruslah merupakan reproduksi yang akurat (dari alam).
Sedangkan seni lukis non-representasional adalah lawan dari seni lukis representasional. Seni lukis non-representasinal dalam konteks umum merupakan ciptaan-ciptaan yang terdiri dari susunan garis, bentuk dan warna yang sama sekali terbebas dari ilusi atas bentuk-bentuk di alam, tetapi secara lebih umum, ialah seni di mana bentuk-bentuk alam itu tidak lagi berfungsi sebagai objek ataupun tema yang harus dibawakan, melainkan sebagai motif saja. Disamping itu, seni lukis non-representasional menjadikan imajinasi dan alam pikir subjek (pelukisnya) menjadi rujukan utama, meskipun penonton memiliki hak yang sama untuk mengartikulasi tebaran teks yang ada di dalamnya.
Seni lukis non-representasional memang tidak bertujuan seperti layaknya seni lukis representasional yang memiliki variasi fungsi: misalnya sebagai gambar rencana, dokumentasi atau memiliki unsur “keterbacaan” yang kuat. Seni lukis non-representasional memiliki fungsi utama yakni sebagai sebuah ruang individu untuk melahirkan khasanah yang bersifat alter-ego atau “aku yang kedua”. Alter-ego didedikasikan untuk menjadi sekumpulan teks dari yang tampak nyata adanya. Ia hadir seperti pasangan intim dari seseorang yang secara lahiriah dimanifestasikan. Namun meskipun sebagai yang “kedua”, ia menjadi bagian penting untuk menunjukkan yang siapa sesungguhnya yang “pertama”.
Sebagai contoh, ketika melihat sebuah lukisan potret diri karya Basoeki Abdullah yang secara gamblang merupakan seni representasional. Di sana tampak gambaran sebidang wajah dengan mata, hidung, telinga, dan berbagai pernik karakter hal tersebut mungkin sering dianggap sebagai wujud seseorang yang kasat mata. Kini bila melihat lukisan Kyai Fuad yang diberinya judul Jejak Roh, Jejak Wahyu, Rindu, dan banyak lagi lainnya yang hanya terdiri segumpal warna, selarik baris, maupun seberkas tekstur semu adalah wujud dari alternasi diri sang Kyai. Ia sedang melukis diri dan kesejatian tentang sesuatu dengan mengambil saripatinya.
Cara semacam ini memang memberi peluang berbagai hal dibanding dengan cara yang harus dilalui seni lukis representasional. Dengan cara ini, Kyai Fuad akan berada pada ragam situasi yang diinginkan. Tengok saja karya 100000000000 SM (baca: Seratus Milyar Sebelum Masehi), atau sketsa bertajuk Semesta. Karya tersebut secara visual amat sederhana, diciptakan hanya dengan cipratan warna pada ladang warna yang mendasari terlebih dahulu. Lukisan dan sketsa tersebut mampu dengan indah menggambarkan situasi dimasa lampau hanya dengan sebidang kanvas pada satu detik diantara milyaran waktu yang diasumsikan.

Dilihat secara visual yang tertera di sana adalah ruang mahaluas yang tak mampu digambarkan dimana manusia berada, karena manusia memang terlalu kecil  dibanding dengan ruang ciptaan Allah. Artinya Kyai Fuad tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menggubah ruang mahaluas tersebut dalam kanvas dan kertas. Tuhan mungkin seperti kita kala memegang selembar sketsa Semesta, alam semesta hanya sebatas di tangan-Nya. Mungkin juga lebih kecil lagi. Sekilas gambaran tentang kedirian sebagai manusia yang kecil sekaligus sebagai pencipta karya tidak diungkapkan secara representatif oleh Kyai Fuad, namun justru dengan memberikan objek dan suasana dalam kanvasnya. Itu pun hanya dengan percikan warna.
Sifat seni lukis non-representasional juga dapat mengatasi ruang-waktu yang tak terjangkau oleh rasio. Berbagai karya-karya yang bersifat ungkapan perasaan amat membutuhkan sifat dan kemampuan yang dimiliki lukisan non-representasional. Karya-karya yang bertajuk Selimut Kasih, Sayap-sayap Keberanian, Planet Cinta, Taqwa, Sperma Rindu, Tonggak Kemenangan, dan beberapa lainnya yang menyiratkan situasi rasa yang diyakini tidak saja sebagai potret pelukisnya, namun juga sebuah ungkapan rasa bagi apresiannya. Kyai Fuad tidak lagi memerlukan subjek yang hadir secara utuh di depan mata seperti kebanyakan pelukis yang membutuhkan model atau foto sebagai model. Kyai Fuad hanya cukup berlayar melampaui ruang-waktu yang dimilikinya dan semaunya untuk melukis semua itu.
Seni lukis non-representasional tak hanya mampu menggoreskan isi perasaan, tetapi juga mengartikulasi dimensi mistik, non-jasmani, dan abstraksi tokoh yang selama ini kerap diperdebatkan eksistensinya, sehingga dapat mewujud secara kasat mata. Lukisan-lukisannya yang bertajuk Roh; Atlas Asmara; Benih Bima; Wirid Keteguhan adalah sebagian contoh yang hadir dengan indah. Lukisan mengenai roh, asmara, tokoh Bima, sifat teguh yang selama ini hanya mampu diucapkan di bibir, kini hadir meskipun dengan cara yang tak semua orang mampu menyuratkan. Momen dan dimensi mistik, sifat non-jasmani semacam ini mampertautkan pikiran kita secara bersama.

 Banyak orang yang mengatakan kelemahan alterego atau seni lukis non- representasional adalah tanpa kesepakatan, sehingga melahirkan perdebatan perihal “kebenaran”. “Benarkah itu wajah Tuhan? Sungguhkah semua itu adalah penampakan roh dan jejak malaikat?” Pertanyaan dan keraguan semacam ini memang selalu akan muncul. Yah, namanya juga pernyataan dan ungkapan individu, niatannya tentu saja berasal dari subjektivitas.
Jangan lupa justru subjektivitas dalam seni non-representasional adalah utama, berbeda dengan seni representasional yang harus  disepakati secara bersama-sama antara individu. Setidaknya subjektivitas telah menyumbangkan serangkaian kreativitas dari individu tentang hal yang terkait dengan kajian tertentu, diantaranya arena spiritual. Inilah alterego Kyai Fuad secara visual yang mengakar dari pengalaman-pengalamannya selama ini. Karya-karyanya adalah ungkapan pengalaman sebagai seorang kyai. Ia tengah memotret dirinya sendiri.
Subjektivitas di dalam seni non-representasional tidak senyata-nyata menyumbangkan wacana tentang “kebenaran dan kesungguhan” dalam rupa, wujud, atau visualisasi seperti halnya dalam seni representasional. Dalam lukisan-lukisan Kyai Fuad rupa, wujud, dan visualisasi segala hal hanyalah media untuk mengatasi kekosongan dan ketegangan perdebatan soal yang mistik, yang non jasmaniah, dan yang tak bertabir selama ini. Sehingga fungsi lukisan tidak hanya untuk mewadahi persoalan wujud,  jasmani atau tabir, akan tetapi juga mengarungi dimensi non ragawi. Apakah ia tengah menggambar malaikat seperti dalam karya Jejak Malaikat atau tengah menggambar roh dalam karya Jejak Roh? Bukan. Ia tidak sedang mematut malaikat agar ada di depan kamera dan dilukisnya. Jejak malaikat dan roh adalah alternasi atau media pengganti ingatan manusia bahwa ada eksistensi malaikat dan roh dalam pikira Kyai Fuad.
Puluhan benda angkasa yang mengecil seperti karya bertajuk 100000000000 SM atau sebentuk tapak yang mengejawantah dalam karya Jejak Malaikat adalah proposal yang diberikan oleh Kyai Fuad tentang dunia yang sedang dialaminya. Keunggulan karya-karya ini justru terletak pada “siapa yang melukisnya?” atau “sejauh mana sang pelukis mengalami dan mengarungi dimensi mistik atas sesuatu yang dilukisnya”. Kedekatan pelukis--dalam hal ini pengalaman empiris berlayar pada wacana sejarah dan mistik--dengan objeknya tentu saja menambah nilai, baik nilai kajian atau nilai ungkap. Nilai semacam ini nantinya memunculkan makna “kebenaran” yang ingin dicapai, seperti halnya “kebenaran” dalam seni lukis representasional yang disepakati bersama. Kedekatan antara pelukis dan apa yang dilukisnya inilah yang melahirkan nuansa lain, termasuk di dalamnya aura maupun efek non-fisik bagi penonton.
Kesepakatan atas “kebenaran” seperti pada karya Kyai Fuad hanya bisa diperoleh dan diakui ketika sang kolektornya mungkin mengalami “sesuatu yang lain”. Entah berupa situasi yang tak terfasilitasi secara jasmani atau secara fisik. Mungkin memberi pengaruh terhadap mental sang kolektor lukisan Kyai Fuad. Dari berbagai kesaksian para kolektor karya Kyai Fuad dapat diresapi bahwa mereka mengalami situasi yang tak terukur dengan rasio maupun media yang bersifat lahiriah. Ada kolektor yang merasa penyakitnya sembuh setelah membeli karyanya. Ada yang merasa ketika melihat lukisan tiba-tiba tanpa sadar mengucapkan kalimat-kalimat suci. Ada pula yang merasa bahwa lukisan Kyai Fuad memberi sensasi virtual yang tak terendus oleh pikiran.
Sejauh ini lukisan Kyai Fuad tak hanya berfungsi untuk dirinya sendiri sebagai pengejawantahan alterego dari semangat untuk mencapai kebebasan individual. Lebih dari itu adalah bahwa seni lukis non-representasional Kyai Fuad telah membakar dan membongkar konsep seni agar lukisan Abstrak tidak sekadar sebagai motif dan pola hias semata. Jadi benarlah bahwa seni lukis karya Kyai Fuad turut mendukung konsep seni Islam yang selalu mengaitkan antara estetika dan spiritual. Bukan tidak mungkin lukisan-lukisan ini adalah tanda yang dibuat oleh manusia bernama Fuad sebagai seorang kyai, bukan Fuad sebagai pelukis an sich. Mungkin inilah “kebenaran” alias “kesepakatan” baru dalam melihat seni lukis non-representasional ala Kyai Fuad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar